Rabu, 03 Desember 2025

OPERASI LANGIT PUTIH

 TNI vs IDF


“OPERASI LANGIT PUTIH”

Hujan turun perlahan di Kota Lareem, bagian paling padat dari Gaza dalam dunia alternatif ini. Rintik air jatuh di atas puing-puing bangunan yang sudah lama tak lagi memiliki warna. Di kejauhan, suara ledakan teredam seperti gemuruh petir jauh di balik awan.

Di antara lorong-lorong sempit yang tergenang air, melangkahlah Unit Inti Garuda, pasukan elit TNI dari dunia alternatif yang ditugaskan oleh koalisi kemanusiaan internasional. Mereka membawa peralatan komunikasi, kit medis, dan senjata yang dilindungi larangan-engagement: tembak hanya jika diserang.

Mayor Jati Novendra, pemimpin unit, memeriksa jam taktisnya. “Kita harus mencapai Pusat Perlindungan Sementara di Blok 17 sebelum pukul 03.00. Ada 42 warga di sana yang menunggu evakuasi.”

Letnan Maya, ahli taktik muda dan cerdas, menatap bayangan bangunan yang menjulang gelap. “Komandan, kita berada dalam zona yang sedang dipantau unit asing. Saya menangkap sinyal frekuensi militer IDF alternatif.”

Mayor Jati mengangguk tipis. “Kita bukan ancaman. Tapi tetap hati-hati. Satu kesalahan, satu salah paham, bisa berubah jadi badai.”

Sementara itu, angin malam membawa suara lain—dengung drone, langkah-langkah cepat, dan suara komando beraksen berbeda.

Unit itu tidak sendirian.


Di atap gedung empat lantai yang retak, Unit Elang Baja, pasukan khusus IDF versi dunia alternatif, sedang menjalankan operasi pencarian pemimpin kelompok penyelundup yang memanfaatkan badai konflik untuk bergerak bebas.

Kapten Ilan Raveh, pemimpin unit itu, mengamati jalan gelap dengan thermal scope. “Ada pergerakan di koridor selatan. Lima… enam orang. Formasi taktis. Itu bukan kelompok lokal.”

Letnan Gil menegaskan, “Peralatan mereka terlihat seperti pasukan koalisi.”

Ilan menahan napas sesaat. “Kalau benar, kita harus memastikan mereka tahu area ini sedang aktif.”

Namun sebelum mereka bergerak, suara ledakan kecil terdengar dari blok tetangga. Api memancar sejenak lalu padam.

“Kelompok lokal,” kata Gil. “Mereka menuju Pusat Perlindungan Sementara.”

Ilan menegang. “Ke tempat pengungsi?”

“Itu buruk, Kapten.”

Ilan menarik nafas panjang. “Kita harus bergerak. Sekarang.”

Dan tanpa mereka sadari, kedua pasukan dalam dunia alternatif ini sedang bergerak ke arah yang sama.


Tim Garuda bergerak cepat—hampir berlari—melintasi genangan air. Cahaya bulan memantul di helm mereka seperti kilatan bilah pedang.

“Tiga blok lagi,” kata Maya sambil mengintip melalui dinding berlubang.

Tiba-tiba suara tembakan terdengar dari depan.

TAK-TAK-TAK-TAK!

Warga sipil menjerit. Tembakan itu berasal dari arah Pusat Perlindungan.

“Kontak!” seru Jati. “Kita percepat!”

Unit Garuda melesat ke depan, kaki-kaki mereka memecah genangan air. Saat mereka mendekat, tampak lima orang bersenjata lokal menembaki gedung perlindungan, mencoba memaksa masuk.

“Non-lethal sebanyak mungkin,” perintah Jati.

Maya mengangguk dan menembak ke arah kaki salah satu penyerang, menjatuhkannya tanpa membunuh. Seno melempar flashbang ke arah lain, memecah fokus penyerang.

Pertempuran kecil terjadi, singkat namun intens.

Namun sebelum semuanya berakhir, suara lain terdengar—langkah cepat, formasi rapi.

Dari sisi kanan muncul sebuah tim lain.

“Drop your weapons!” seru suara tegas.

Lampu taktis disorotkan ke arah mereka.

Itu Unit Elang Baja.


Ketegangan membeku di udara.

Mayor Jati maju selangkah, tangan terangkat sedikit. “Kami Pasukan Garuda. Misi kami evakuasi warga di gedung ini.”

Kapten Ilan menatap dengan sorot mata tajam, mencoba menilai situasi. “Kami melihat serangan. Kalian yang mengatasinya?”

Jati mengangguk. “Kami meminimalkan kerugian.”

Keheningan menggantung penuh ketidakpastian.

Namun sebelum pembicaraan berkembang menjadi sesuatu yang salah, suara lain muncul dari dalam pusat perlindungan:

“Tolong! Ada yang terluka!” teriak seseorang dalam bahasa Inggris patah-patah.

Maya langsung merespons. “Komandan, ada warga yang butuh pertolongan medis.”

Ilan menoleh, memastikan ancaman sudah mereda. Dan pada detik itu, ia membuat keputusan.

“Kami lindungi perimeter. Kalian evakuasi warga.”

Jati menatapnya sejenak. “Terima kasih.”

“Prioritas kami adalah mencegah korban tak bersalah,” balas Ilan.

Begitulah, dalam badai konflik gelap ini, dua unit elit dari dua kekuatan berbeda berdiri berdampingan.


Di dalam pusat perlindungan, para warga panik. Anak-anak menangis, orang dewasa memeluk satu sama lain, ketakutan bahwa dunia di luar sudah terlalu kejam untuk mereka.

Tim medis Garuda segera bekerja. Maya membantu memindahkan seorang pria tua dengan luka di perut.

“Dia butuh operasi cepat,” kata Maya.

“Kapal medis akan tiba di pesisir timur,” jawab Jati. “Kita harus pindahkan mereka ke sana.”

Di luar, Elang Baja menahan serangan sisa-sisa kelompok lokal yang mencoba mendekat lagi setelah sempat terpukul mundur.

“Kontak kiri!” seru Letnan Gil.

Peluru menabrak tembok, pecahan krikil berhamburan. Namun pasukan itu tetap stabil.

Jati keluar setelah semua warga siap evakuasi. “Kapten Ilan! Kami butuh koridor aman menuju titik pengambilan.”

Ilan menimbang cepat, lalu mengangguk. “Kami buka jalur. Kalian bawa warga.”

Kedua unit itu bergerak serempak. Garuda memimpin warga sipil, Elang Baja menjaga perimeter luar.

Ketika mereka mencapai jalan utama, kelompok penyerang melakukan serangan terakhir. Namun formasi gabungan itu terlalu solid untuk ditembus.

Hingga akhirnya—
suara mesin kendaraan kemanusiaan terdengar.
Lampu-lampu putih menerangi gelap malam.
Pintu kendaraan terbuka.

Satu per satu warga naik. Selamat.


Saat kendaraan itu menjauh, membawa mereka menuju tempat yang lebih aman, Jati berdiri di samping Ilan.

“Kita berada di sisi yang berbeda,” kata Ilan, “tapi malam ini kita membuat keputusan yang sama.”

Jati mengangguk. “Kemanusiaan harus selalu memungkinkan itu.”

Ilan mengulurkan tangan. Jati menyambutnya erat.

Tanpa berkata banyak, kedua pasukan itu berpisah jalan—kembali ke bayang-bayang tugas masing-masing.

Namun satu hal pasti:
di dunia alternatif yang penuh kekacauan ini, masih ada titik-titik kecil di mana dua pihak yang berbeda menemukan alasan yang sama untuk melindungi nyawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar